Rasa syukur seringkali dikaitkan dengan kepemilikan. Kebersyukuran selalu dimaknai sebagai apa yang sudah atau belum kita miliki. Tentu kepemilikan ini tidak hanya tentang barang fisik, melainkan juga situasi atau perasaan yang membuat kita merasa nyaman dan aman. Mendapatkan sesuatu kemudian bagaimana menyikapinya itulah yang kemudian dimaknai sebagai bersyukur (atau tidak).

Namun pernahkah kita berpikir bahwa ketidakmemilikian akan sesuatu juga termasuk hal yang patut untuk disyukuri? Situasi yang tidak kita alami atau barang yang tidak jadi kita miliki betapapun kita menginginkannya juga merupakan sesuatu yang patut disyukuri.

Tentu banyak sekali contohnya, misalkan seperti meteor yang tidak jatuh di kota kita, atau cuaca ekstrim tertentu yang tidak kita alami, hingga barang-barang yang tidak bisa kita beli karena mungkin kita tidak akan cukup sanggup untuk mengeluarkan biaya perawatannya atau cukup bersabar dan cukup waktu dalam merawat dan menjaganya.

Pada akhirnya rasa bersyukur adalah masalah persepsi dan penyikapan. Ini bukan hanya tentang kepemilikan. Sebab apapun bisa disyukuri atau tidak.

Lalu untuk apa memiliki rasa syukur?

 

Sederhana saja: kebahagiaan.

 

Hidup sudah cukup riuh dipenuhi ambisi, nafsu yang memburu dan tuntutan-tuntutan yang tiada berkesudahan. Kebahagiaan yang bersyarat, ketenangan yang dirancang, hingga ketentraman yang terus ditunda-tunda. Bukankah kebahagiaan adalah pilihan?

Thomas Alva Edison, sang penemu ratusan gadget yang telah merubah hidup kita, selalu mensyukuri apa yang dia miliki atau apa yang tidak dia miliki. Bahkan kegagalan adalah sesuatu yang patut dirayakan dengan gegap gempita.

“Aku bukannya gagal, aku hanya menemukan 10.000 cara bagaimana sesuatu tidak bekerja dengan baik.” – (Thomas Alva Edison).

 

So, jika kekosongan dan kegagalan saja mampu membahagiakan, apalagi kepemilikan dan keberhasilan?

 

Yogyakarta, 8 Oktober 2016

Ba’da subuh yang dicecapi gerimis tipis.

Sumber gambar: sini

Leave a comment