“Orang harus bayar kalau menerima sesuatu. Begitulah aturan dunia. Karena Anda menerima sinyal TV, Anda harus bayar iuran. Menerima tanpa bayar itu tidak adil. Sama saja dengan mencuri.”

Sepuluh menit kemudian, lelaki itu pergi. Tapi tak lupa ia mengancam, menghina dengan suara lantang yang membahana dengan di koridor, membujuk secara licik, memaki-maki dengan dahsyat lagi, lalu memberi peringatan bahwa dia akan datang lagi.

“Anda tidak bisa lolos, Nona Takai. Selama Anda menerima sinyal TV, saya pasti akan kembali ke sini. Saya bukan orang yang gampang menyerah. Itulah sifat saya. Baiklah, sampai jumpa tak lama lagi.”

*Cuplikan dialog dari novel 1Q84 jilid 3 karya Haruki Murakami

12 Oktober lalu saya menerima surat dari ARD, ZDF, und Deutschlandradios Beitragsservice yang isinya aku harus bayar tagihan sinyal TV. Sebenarnya ini adalah surat kedua. Surat pertama tidak saya gubris,secara di kampung halaman nggak pernah ada tagihan untuk sinyal TV kecuali TV berlangganan dan aku pikir kalau tidak dijawab artinya saya tidak ingin berlangganan.

Ternyata dugaanku salah hingga surat pemberitahuan kedua tersebut pun datang. Aku pun mulai panik dan bingung tanya sana-sini. Panik karena di surat tersebut dijelaskan kalau dalam jangka waktu empat minggu, aku tidak memberikan nomor rekening dan metode langganan — ditagih perbulan atau per tiga bulan– , maka orang dari bagian layanan akan mendatangi apartemenku. Waaaaa, siapa yang tidak takut coba, pertama kali tinggal di negara orang, masih polos, nggak tau apa-apa tapi nanti bakalan digedor pintu rumahnya. Karena takut pastinya imajinasinya sangat hiperbola banget dan langsung aja terbayang adegan dalam novelnya Haruki Murakami di atas.

Akhirnya aku bertanya kepada teman se-apartemen apakah dia dulu juga nerima surat ini dan apa bayar. Ternyata dia memang bayar, tapi karena dasarnya aku yang nggak mau ada pengeluaran dadakan diluar keinginan apalagi pengeluarannya jenisnya bulanan lagi, maka aku masih berusaha cari informasi apakah aku bisa nggak bayar jika aku nggak ngegunain TV, atau apakah pembayaran apartemenku tidak termasuk dalam langganan sinyal TV ini, atau kalaupun aku pada akhirnya dengat berberat hati harus bayar apa aku bisa dapat keringanan secara di sini aku adalah anak BFD.

Akhirnya setelah telpon ke nomor bagian layanan yang tidak tersambung, kirim email melalui webnya yang belum berbalas, dan pergi langsung ke bagian Verwaltung untuk meminta kejelasan dan bantuan, aku harus membayar setiap bulannya 17,50 Euro. There is no free lunch – Tidak ada makan siang gratis –sangat tepat untuk menggambarkan situasai yang ada di sini. Waktu dulu pertama datang dan lihat tempat tinggalku di sini, aku begitu senang karena fasilitasnya lumayan lengkap termasuk di dalamnya ada TV. Tapi setelah tahu kalau ada tagihan sinyal TV-nya, ingin rasanya TV ini kulempar aja ke tong sampah. Hahahaha….. Yakin sih, pasti ada hikmah baik dari kejadian ini, tapi saat ini w belum bisa lihat bagian putih tersebut, aku masih terpaku pada titik hitam yang ada ditengahnya.

Obernzenn, 27. 10. 2016

Matahari tumben lagi pamer gigi hari ini, tapi males keluar 😀

2 thoughts on “Tidak Ada Makan Siang Gratis di Dunia Ini

Leave a reply to mumblingdinoe Cancel reply