Pertama kali saya mendengar penggunaan kata “aktualisasi diri” adalah saat saya sedang mengadakan penelitian mengenai tandhak (lelaki yang berpakaian perempuan, secara ilmiah dikenal dengan istilah transvestite) di kesenian ludruk Jawa Timur untuk bahan tesis S2 saya beberapa tahun lampau. Di situ diceritakan bahwa kesenian ludruk yang pada awalnya (dan masih banyak juga hingga saat ini) hanya diisi dan dimainkan oleh laki-laki—bahkan pada karakter tokoh perempuan juga diperankan laki-laki, aktor laki-laki yang memerankan tokoh perempuan di situ pada awalnya memang bekerja murni karena tuntutan peran. Selebihnya, ketika mereka kembali ke dunia keseharian non-panggung, mereka akan kembali menjadi laki-laki tulen.

tandhak

Namun pada perkembangannya, kehadiran transvestite (yang dikenal dengan sebutan tandhak ludruk) di panggung ludruk ini dianggap sebagai media peluang oleh para kaum waria (laki-laki yang berkepribadian perempuan) untuk mengaktualisasikan diri mereka. Akibatnya transvestite yang pada awalnya hadir karena tuntutan dunia pertunjukan, transvestite yang pada awalnya berdandan dan berperan sebagai perempuan karena tuntutan pertunjukan, lama-kelamaan diisi oleh orang-orang yang memang sehari-harinya berdandan seperti perempuan. Di era sebelum masuk ke dunia ludruk, biasanya waria (yang hingga saat ini) tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat itu, lebih banyak berkecimpung di dunia jalanan. Ludruk kemudian dipandang sebagai media untuk eksis di kalangan masyarakat. Bahkan tidak jarang membuat masyarakat menjadi mulai menerima kehadiran kaum waria karena peran-peran mereka di panggung ludruk.

Tapi maaf sekali, tanpa bermaksud mendiskreditkan atau berpihak pada pro kontra eksistensi kaum waria, kisah di atas tidak lain hanyalah pengantar pemahaman saya akan makna aktualisasi diri. Bagaimana manusia selalu membutuhkan pengakuan akan keberadaan dirinya dengan segala unsur-unsurnya mulai dari penampilan, pemikiran, perasaan, dan lain sebagainya. Manusia akan selalu haus akan pengakuan eksistensinya. Sekecil apapun itu dan seperti apapun bentuk pengakuan itu. Manusia butuh untuk selalu mengaktualkan keberadaan dirinya, aktualisasi bukan hanya pada keberadaan diri tapi juga bagaimana orang lain mengaktualisasi pengakuan mereka akan diri kita. Siapapun pasti tidak berkenan untuk dianggap sebagai orang yang begitu-begitu saja, selalu ada kebaruan diri yang harus dianggukkan bahkan dipertanyakan oleh orang lain. Menjadi berbeda adalah keniscayaan.

Peran-dan-Fungsi-Sosial-Media-Bagi-Masyarakat
Media sosial [sumber gambar]
Fitrah manusia yang tidak lepas dari keinginan untuk diakui itulah yang menjadi inspirasi lahirnya pelbagai macam variasi media sosial. Mulai dari pengakuan diri akan visual lewat Instagram dan Youtube, pengakuan diri akan kemampuan vokal lewat Smule, pengakuan diri akan kata-kata lewat Twitter atau Facebook, pengakuan diri akan kemampuan menulis lewat blog, pengakuan diri akan selera humor lewat 9gag atau 1Cak, pengakuan diri telah mengalami sebuah peristiwa tertentu di lokasi tertentu lewat Path dan masih banyak lagi varian pengakuan diri lainnya. Jika tren kehausan akan media sosial ini terus berlanjut, saya yakin kelak akan masih banyak lagi sisi-sisi privasi manusia yang terus dieksploitasi sebagai ajang pengakuan diri. Hingga tiba saatnya privasi itu sendiri adalah hal yang tabu, sebab semua orang berlomba-lomba untuk memamerkan informasi pribadinya masing-masing untuk dikonsumsi publik dan berharap diakui semua orang, bahkan pada orang yang sama sekali tidak mengenal kita.

Saya tidak memungkiri, saya pun salah satu “korban” tren aktualisasi diri media sosial. Hampir semua media sosial populer yang sempat saya sebutkan di paragraf sebelumnya pernah saya jajali. Meski sempat mengalami masa-masa jenuh hingga membuat saya harus menghapus beberapa akun media sosial, saya selalu akan kembali haus untuk memancangkan diri di internet dengan segala ruang pribadi dan informasi yang saya miliki untuk selalu diakui oleh orang lain. Saya pun haus diakui.

Akhir-akhir ini saya mulai kembali jenuh dengan pelbagai media sosial itu. Membuka Facebook yang biasanya saya lakukan hampir setiap dua jam sekali setiap hari, kali ini hanya dua atau tiga kali dalam seminggu, bahkan untuk membuka Twitter saja saya lakukan kalau ingat saja atau kalau benar-benar butuh informasi tertentu, sedangkan media sosial yang lain juga sangat jarang saya sentuh akhir-akhir ini.

Entah kenapa saya pelan-pelan menyadari kalau saya mulai terbentuk menjadi pribadi yang berbeda semenjak mengenal dunia media sosial. Cara pandang, pikir, dan rasa saya seolah dicetak sedemikian rupa sehingga membentuk pola-pola tertentu. Seperti bagaimana saya memandang peristiwa di sekitar sebagai sesuatu yang harus segera dipamerkan ke orang lain, keinginan untuk buru-buru mengritisi (bahkan hingga menghakimi) sebuah peristiwa sebelum benar-benar memahami apa yang terjadi sebenarnya, terlalu banyak berpikir dan minim beraksi karena khawatir kalau melakukan ini nanti dianggap begitu kalau melakukan itu nanti dianggap begini dan lain sebagainya. Yang paling parah adalah saya menjadi lupa untuk bersyukur akan segala kesederhanaan yang berserakan di sekitar karena terbiasa dicekoki akan hal-hal “besar” melalui media sosial, pun sebaliknya, saya jadi mudah membesar-besarkan masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan singkat tanpa perlu digerutukan dan digembar-gemborkan sebelumnya. Saya juga lupa bagaimana cara menilai seseorang apa adanya hanya dengan pertemuan sederhana dan memanfaatkan segala macam kemampuan indera tapi justru tergantung bagaimana dia mengaktualisasikan diri lewat media sosial.

Jadi bagaimana solusinya?

Memang kita membicarakan tentang solusi?

Memangnya ada masalah?

Kan yang penting diakui….

Yogyakarta, 21 Juli 2016

jam 8 pagi yang cukup menggigil di Jogjakarta.

3 thoughts on “Tandhak Medsos

Leave a comment